ISLAM
SEBAGAI PANDANGAN HIDUP
I.
Pendahuluan
Terdapat sekurang-kurangnya tiga
alasan penting mengapa kajian mengenai pandangan hidup (worldview)
menjadi penting dalam era globalisasi dan perang pemikiran dewasa ini. Pertama,
ketika institusi agama-agama berhadapan dengan proses globalisasi penegasan
identitas diri secara komprehensif hanya dapat dilakukan melalui worldview.
Kedua, ditengah masyarakat yang pluralistis denominasi kultural perlu memiliki
matriknya sendiri atau pandangannya sendiri dalam melihat realitas sosial dan
kultural disekitarnya. Ketiga sebagai kombinasi dari yang poin pertama dan
kedua, peristiwa 11 september 2001 di New York dan Washington DC, dipahami oleh
banyak pengamat sebagai contoh kongkrit dari benturan peradaban (clash
of civillization) atau “benturan persepsi” (collision of consciousness)
dalam istilah Peter Berger. Benturan peradaban ataupun benturan persepsi
tidak lain adalah benturan pandangan hidup (worldview), sebab
setiap agama, bangsa, dan peradaban memiliki pandangan hidup sendiri-sendiri
secara ekslusif dan untuk itu diperlukan sikap saling memahami.
Dalam konteks pemikiran diatas dan
dalam era globalisasinya dewasa ini ekposisi Islam sebagai agama dan pandangan
hidup tidak saja relevan tapi juga urgen. Sebab selama ini banyak yang
mencoba memahami Islam dalam hubunganya dengan Barat atau dengan peradaban
modern, hanya sebatas sebagai agama, dan bukan Islam sebagai agama dan
sekaligus pandangan hidup. Walhal Islam adalah agama (din) yang kaya
dengan konsep-konsep, seperti konsep tentang Tuhan, kehidupan, manusia, jiwa
dan raga, alam semesta, etika, dan lain-lain yang kokoh sehingga berkembang
menjadi peradaban (madaniyyah). Bangunan konsep Islam sebagai agama dan
peradaban ini mencerminkan sebuah pandangan hidup (worldview) yang
memiliki struktur konseptualnya sendiri yang ekslusif dan berbeda dari
peradaban lain.
Disini yang pertama-tama akan
dijelaskan secara umum adalah pengertian pandangan hidup, baik Islam maupun
bukan, proses kelahirannya, elemen-elemennya, dan karakteristiknya. Untuk
memberi gambaran lebih jelas akan dipaparkan pandangan hidup Barat modern dan
postmodern, untuk kemudian dibandingkan dengan pandangan hidup Islam.
II.
Pengertian
a. Pengertian
umum
Sebenarnya
isitlah umum dari worldview hanya terbatas pada pengertian ideologis, sekuler,
kepercayaan animistis, atau seperangkat doktrin-doktrin teologis dalam
kaitannya dengan visi keduniaan. Artinya worldview dipakai untuk
menggambarkan dan membedakan hakekat sesuatu agama, peradaban atau kepercayaan.
Terkadang ia juga digunakan sebagai metode pendekatan ilmu perbandingan
agama.Namun terdapat agama dan peradaban yang memiliki spectrum pandangan yang
lebih luas dari sekedar visi keduniaan maka makna pandangan hidup diperluas.
Karena dalam kosa kata bahasa Inggeris tidak terdapat istilah yang tepat untuk
mengekspresikan visi yang lebih luas dari sekedar realitas keduniaan selain
dari kata-kata worldview, maka cendekiawan Muslim mengambil kata-kata worldview
(untuk ekspressi bahasa Inggeris) untuk makna pandangan hidup yang spektrumnya
menjangkau realitas keduniaan dan keakheratan dengan menambah kata sifat Islam.
Namun dalam bahasa Islam para ulama mengekspresikan konsep ini dengan istilah
yang khas yang berbeda antara satu dengan yang lain. Seperti yang akan
dijelaskan nanti terdapat perbedaan penekanan antara Sayyid Qutb, Shaykh Atif
al-Zayn, al-Maududi, Syed Naquib al-Attas.
Menurut
Ninian Smart worldview adalah kepercayaan, perasaan dan apa-apa yang
terdapat dalam pikiran orang yang befungsi sebagai motor bagi keberlangsungan
dan perubahan sosial dan moral” Hampir serupa dengan Smart, Thomas F Wall
mengemukakan bahwa worldview adalah sistim kepercayaan asas yang
integral tentang hakekat diri kita, realitas, dan tentang makna eksistensi (An
integrated system of basic beliefs about the nature of yourself, reality, and
the meaning of existence).
Lebih luas
dari kedua definisi diatas Prof.Alparslan mengartikan worldview sebagai
asas bagi setiap perilaku manusia, termasuk aktifitas-aktifitas ilmiyah dan
teknologi. Setiap aktifitas manusia akhirnya dapat dilacak pada pandangan
hidupnya, dan dalam pengertian itu maka aktifitas manusia dapat direduksi
menjadi pandangan hidup. (the foundation of all human conduct, including scientific
and technological activities. Every human activity is ultimately traceable to
its worldview, and as such it is reducible to that worldview.
Ada tiga
poin penting dari definisi diatas, yaitu bahwa worldview adalah motor
bagi perubahan sosial, asas bagi pemahaman realitas dan asas bagi aktifitas
ilmiah. Dalam konteks sains, hakekat worldview dapat dikaitkan dengan
konsep “perubahan paradigma” (Paradigm Shift) Thomas S Kuhn yang oleh
Edwin Hung juga dianggap sebagai weltanschauung Revolution. Sebab paradigma
menyediakan konsep nilai, standar-standar dan metodologi-metodologi, atau
ringkasnya merupakan worldview dan framework konseptual yang
diperlukan untuk kajian sains. Namun dari definisi diatas setidaknya
kita dapat memahami bahwa worldview adalah identitas untuk membedakan
antara suatu peradaban dengan yang lain. Bahkan dari dua definisi terakhir
menunjukkan bahwa worldview melibatkan aktifitas epistemologis manusia,
sebab ia merupakan faktor penting dalam aktifitis penalaran manusia.
Ketiga
definisi diatas berlaku bagi peradaban atau agama secara umum. Namun definisi
untuk Islam mempunyai nilai tambah karena sumbernya dan spektrumnya yang luas
dan menyeluruh. Sebagai contoh akan disampaikan definisi worldview Islam oleh
beberapa tokoh ulama kontemporer.
b. Pengertian
dalam Islam
Dalam
tradisi Islam klasik terma khusus untuk pengertian worldview belum
diketahui, meski tidak berarti Islam tidak memiliki worldview. Para
ulama abad 20 menggunakan terma khusus untuk pengertian worldview ini,
meskipun berbeda antara satu dengan yang lain. Maulana al-Mawdudi
mengistilahkannya dengan Islami nazariat (Islamic Vision),
Sayyid Qutb menggunakan istilah al-TaÎawwur al-IslamÊ (Islamic
Vision), Mohammad AÏif al-Zayn menyebutnya al-Mabda’ al-IslÉmÊ (Islamic
Principle), Prof. Syed Naquib al-Attas menamakannya Ru’yatul Islam
lil wujËd (Islamic Worldview). Meskipun istilah yang dipakai
berbeda-beda pada umumnya para ulama tersebut sepakat bahwa Islam mempunyai
cara pandangnya sendiri terhadap segala sesuatu. Penggunaan kata sifat
Islam menunjukkan bahwa istilah ini sejatinya adalah netral. Artinya agama dan
peradaban lain juga mempunyai Worldview, Vision atau Mabda’, sehingga
al-Mabda’ juga dapat dipakai untuk cara pandang komunis al-Mabda’
al-Shuyu’i, Western worldview, Christian worldview, Hindu worldview dll.
Maka dari itu ketika kata sifat Islam diletakkan didepan kata worldview,
Vision atau Mabda’ maka makna etimologis dan terminologis menjadi
berubah. Penjelasan dari istilah menunjukkan akan hal itu:
Manurut
al-Mauwdudi, yang dimaksud Islami Nazariyat (worldview) adalah pandangan
hidup yang dimulai dari konsep keesaan Tuhan (shahadah) yang
berimplikasi pada keseluruhan kegiatan kehidupan manusia di dunia. Sebab
shahadah adalah pernyataan moral yang mendorong manusia untuk melaksanakannya
dalam kehidupannya secara menyeluruh.
Shaykh
Atif al-Zayn mengartikan mabda’ sebagai aqidah fikriyyah (kepercayaan
yang rasional) yang berdasarkan pada akal. Sebab setiap Muslim wajib beriman
kepada hakekat wujud Allah, kenabian Muhammad saw, dan kepada al-Qur’an dengan
akal. Iman kepada hal-hal yang ghaib……..itu berdasarkan cara penginderaan yang
diteguhkan oleh akal sehingga tidak dapat dipungkiri lagi. Iman kepada Islam
sebagai Din yang diturunkan melalu Nabi Muhammad saw untuk mengatur hubungan
manusia dengan Tuhan, dengan dirinya dan lainnya.
Sayyid
Qutb mengartikan al-tasawwur al-Islami, sebagai akumulasi dari keyakinan
asasi yang terbentuk dalam pikiran dan hati setiap Muslim, yang memberi
gambaran khusus tentang wujud dan apa-apa yang terdapat dibalik itu.
Bagi
Naquib al-Attas worldview Islam adalah pandangan Islam tentang realitas
dan kebenaran yang nampak oleh mata hati kita dan yang menjelaskan hakekat
wujud; oleh karena apa yang dipancarkan Islam adalah wujud yang total maka worldview
Islam berarti pandangan Islam tentang wujud (ru’yaat al-Islam lil-wujud).
Pandangan-pandangan
diatas telah cukup baik menggambarkan karakter Islam sebagai suatu pandangan
hidup yang membedakannya dengan pandangan hidup lain. Namun, jika kita kaji
keseluruhan pemikiran dibalik definisi para ulama tersebut kita dapat beberapa
orientasi yang berbeda. Al-Maududi lebih mengarahkan kepada kekuasaan Tuhan
yang mewarnai segala aktifitas kehidupan manusia, yang berimplikasi politik.
Shaykh Atif al-Zayn dan Sayyid Qutb lebih cenderung mamahaminya sebagai
seperangkat doktrin kepercayaan yang rasional yang implikasnya adalah ideologi.
Naquib al-Attas lebih cenderung kepada makna metafisis dan epistemologis.
III. Proses lahirnya pandangan hidup
a. Pandangan
hidup umum
Suatu worldview terbentuk
dalam pikiran individu secara perlahan-lahan (in a gradual manner),
bermula dari akumulasi konsep-konsep dan sikap mental yang dikembangkan oleh
seseorang sepanjang hidupnya, sehingga akhirnya membentuk framework berfikir (mental
framework) atau worldview. Secara epistemologis proses berfikir ini
sama dengan cara kita mencari dan memperoleh ilmu, yaitu akumulasi pengetahuan a
priori dan a posteriori. Proses itu dapat dijelaskan sebagai
berikut: ilmu pengetahuan yang diperoleh seseorang itu sudah tentu terdiri dari
berbagai konsep dalam bentuk ide-ide, kepercayaan, aspirasi dan lain-lain yang
kesemuanya membentuk suatu totalitas konsep yang saling berkaitan dan
terorganisasikan dalam suatu jaringan (network). Jaringan
ini membentuk struktur berfikir yang koheren dan dapat disebut sebagai
“achitectonic whole”, yaitu suatu keseluruhan yang saling berhubungan.
Maka dari itu pandang hidup seseorang itu terbentuk tidak lama setelah
pengetahuan yang diperoleh dalam bentuk konsep-konsep itu membentuk suatu
keseluruhan yang saling berhubungan. Jaringan architektonik (architectonic
network) ini kebanyakan terbentuk oleh pendidikan dan masyarakat, dan dalam
kasus Islam dibentuk utamanya oleh agama.
Proses pembentukan pandangan hidup
dalam kebudayaan atau masyarakat pada umumnya sama seperti yang dijelaskan
diatas, tapi terdapat beberapa perbedaan teknis, khususnya dalam kaitannya
dengan kegiatan keilmuan. Jika dalam pandangan hidup suatu masyarakat tidak
terdapat konsep ilmu atau konsep-konsep lain yang berkaitan, maka pandangan
hidup itu hanya berperan sebagai kondisi berfikir (mental environment)
yang tidak menjamin adanya kegiatan ilmiah atau penyebaran ilmu pengetahuan di
masyarakat. Worldview seperti ini memerlukan apa yang disebut scientific
conceptual scheme (kerangka konsep keilmuan), yang dengan itu
kegiatan keilmuan dapat dilaksanakan. Jika pandangan hidup suatu masyarakat itu
telah memiliki konsep ilmu atau konsep-konsep lain yang berkaitan maka
pandangan hidup itu akan berkembang melalui cara-cara ilmiah. Melihat kedua
proses pembentukan dan pengembangan worldview yang seperti ini, maka
worldview dapat dibagi menjadi natural worldview dan transparent worldview.
Disebut demikian karena yang pertama terbentuk secara alami sedangkan yang
kedua terbentuk oleh suatu kesadaran berfikir.
Namun dalam transparent worldview
disseminasi ilmu pengetahuan tidak selalu dengan cara-cara ilmiah dalam
kerangka konsep keilmuan (scientific conceptual scheme), yaitu suatu
mekanisme canggih yang mampu melahirkan pengetahuan ilmiah dan melahirkan
pandangan hidup ilmiah (scientific worldview). Terdapat pula transparent
worldview yang lahir tidak melalui kerangka konsep keilmuan, meskipun
substansinya tetap bersifat ilmiah. Pandangan yang lahir dengan cara itu adalah
pandangan hidup Islam. Sebab pandangan hidup Islam tidak bermula dari adanya
suatu masyarakat ilmiah yang mempunyai mekanisme yang canggih bagi menghasilkan
pengetahuan ilmiah.
Proses terbentuknya struktur konsep
dalam worldview ini bermula dari struktur tentang kehidupan, yang didalamnya
termasuk cara-cara manusia menjalani kegiatan kehidupan sehari-hari,
sikap-sikap individual dan sosialnya, dan sebagainya. Struktur tentang dunia
adalah konsepsi tentang dunia dimana manusia hidup. Struktur tentang ilmu
pengetahuan adalah merupakan pengembangan dari struktur dunia (dalam transparent
worldview). Gabungan dari struktur kehidupan, dunia dan pengetahuan ini
melahirkan struktur nilai, dimana konsep-konsep tentang moralitas berkembang.
Teori ini berlaku secara umum pada
semua kebudayaan dan dapat menjadi landasan yang valid dalam menggambarkan
timbul dan berkembanganya pandangan hidup manapun, termasuk pandangan hidup
Islam. Berarti, kegiatan keilmuan apapun baik dalam kebudayaan Barat, Timur
maupun peradaban Islam dapat ditelusur dari pandangan hidup masing-masing.
b. Pandangan hidup Islam
Dari teori diatas dan melihat cara
lahirnya pandangan hidup Islam yang disampaikan Nabi melalui wahyu Allah, bukanlah termasuk
dalam kategori scientific worldview. Sebab ia tidak didahuli oleh
wujudnya komunitas ilmiyah dan tidak pula dibentuk oleh komunitas ilmiyah.
Wahyu yang diterima Nabi disampaikan dan dijelaskan kepada masyarakat. Cara-cara
seperti ini tidak sama dengan cara-cara yang ada pada scientific worldview, dan
oleh sebab itu Prof.Alparslan menamakan worldview Islam sebagai ‘quasi-scientific
worldview‘. Namun pandangan hidup “berkembang” menjadi scientific
worldview setelah konsep-konsep asas yang dikandung oleh wahyu dijelaskan
dan dipeluas maknanya oleh Nabi dan para sahabat serta para ulama sesudahnya.
Namun ‘perkembangan’ disini, seperti yang diingatkan Prof. al-Attas, tidak
menunjukkan proses pertumbuhan menuju kematangan atau kedewasaan, seperti
pandangan hidup Barat, tapi lebih merupakan proses interpretasi dan elaborasi
wahyu yang bersifat permanen itu.
Oleh sebab itu “perkembangan”
pandangan hidup Islam perlu merujuk kepada periode dessiminasi ayat-ayat
al-Qur’an oleh Nabi dan pemahaman ummat Islam terhadapnya. Dalam kaitannya
dengan itu, maka Prof. Alparslan membagi tiga periode penting, yaitu 1)
Lahirnya pandangan hidup Islam dalam bentuk wahyu 2) lahirnya struktur ilmu
pengetahuan dalam pandangan hidup tersebut dan 3) lahirnya tradisi keilmuan
Islam.
Periode pertama, lahirnya pandangan hidup Islam
dapat digambarkan dari kronologi turunnya wahyu dan penjelasan Nabi tentang
wahyu itu. Sebab, seperti dijelaskan diatas, sebagai quasi-scientific
worldview, pandangan hidup Islam bermula dari peranan sentral Nabi yang
menyampaikan dan menjelaskan wahyu. Disini periode Makkah merupakan periode
yang sangat penting dalam kelahiran pandangan hidup Islam. Karena banyaknya
surah-surah al-Qur’an diturunkan di Makkah (yakni 85 surah dari 113 surah
al-Qur’an diturunkan di Makkah), maka periode Makkah dibagi menjadi dua
periode: Makkah period awal dan periode akhir. Pada periode awal
wahyu yang diturunkan umumnya mengandung konsep-konsep tentang Tuhan dan
keimanan kepadaNya, hari kebangkitan, penciptaan, akherat, surga dan neraka,
hari pembalasan, baik dan buruk, dan lain sebagainya yang kesemuanya itu
merupakan elemen penting dalam struktur worldview Islam. Pada periode
akhir Makkah, wahyu memperkenalkan konsep-konsep yang lebih luas dan abstrak,
seperti konsep ‘ilm, nubuwwah, dÊn, ibÉdah dan lain-lain.[19]
Dua periode Makkah ini penting bukan hanya karena dua pertiga dari al-Qur’an
diturunkan disini, akan tetapi kandungan wahyu dan penjelasan Nabi serta
partisipasi masyarakat Muslim dalam memahami wahyu itu telah menjadikan
struktur konsep tentang dunia (world-structure) menjadi jelas. Karena
sebelum Islam datang struktur konsep tentang dunia telah dimiliki oleh
pandangan hidup masyarakat pra-Islam (Jahiliyyah), maka struktur konsep
tentang dunia yang dibawa Islam menggantikan struktur konsep yang ada
sebelumnya.[20] Konsep karam, misalnya, yang
pada masa jahiliyya berarti kemuliaan karena harta dan banyaknya anak, dalam
Islam diganti menjadi berarti kemuliaan karena ketaqawaan (inna akramukum
inda AllÉh atqÉkum).
Periode kedua timbul dari kesadaran bahwa wahyu
yang turun dan dijelaskan Nabi itu telah mengandung struktur fundamental scientific
worldview, seperti struktur tentang kehidupan (life-structure), struktur
tentang dunia, tentang ilmu pengetahuan, tentang etika dan tentang manusia,
yang kesemuanya itu sangat potensial bagi timbulnya kegiatan keilmuan.
Istilah-istilah konseptual seperti ilm, iman, usul, kalam, nazar, wujud,
tafsir, ta’wil, fiqh, khalq, halal, haram, iradah dan lain-lain telah
memadahi untuk dianggap sebagai kerangka awal konsep keilmuan (pre-scientific
conceptual scheme), yang juga berarti lahirnya elemen-elemen epistemologis
yang mendasar dalam pandangan hidup Islam. Periode ini sangat penting karena
menunjukkan wujudnya struktur pengetahuan dalam pikiran ummat Islam saat itu
yang berarti menandakan munculnya “Struktur Ilmu” dalam pandangan hidup Islam,
meskipun benih beberapa konsep keilmuan telah wujud pada periode Makkah.
Periode ketiga adalah lahirnya tradisi keilmuan
dalam Islam. Periode ini memerlukan penjelasan yang lebih panjang dan detail.
Seperti diketahui tradisi keilmuan dalam Islam adalah merupakan konsekuensi
logis dari adanya struktur pengetahuan dalam pandangan hidup Islam. Karena
tradisi memerlukan adanya keterlibatan masyarakat, maka Prof. Alparslan
mencanangkan bahwa untuk menggambarkan tradisi keilmuan Islam,
pertama-tama perlu ditunjukkan wujudnya komunitas ilmuwan dan proses
kelahirannya pada awal abad pertama dalam Islam. Kemudian menunjukkan adanya
kerangka konsep keilmuan Islam (Islamic scientific conceptual scheme)
yang merupakan framework yang berperan aktif dalam tradisi keilmuan itu.
c.
Pandangan hidup Islam dan Tradisi
keilmuan
Wujudnya tradisi intelektual dalam
Islam yang mengiringi munculnya pandangan hidup Islam dapat ditunjukkan melalui
bukti sejarah akan adanya masyarakat ilmuwan atau kelompok belajar atau sekolah
AÎÍÉb al-Øuffah di Madinah. Disini kandungan wahyu dan hadith-hadith
Nabi dikaji dalam kegiatan belajar mengajar yang efektif. Jumlah peserta dalam
komunitas keilmuan ini, menurut AbË Nuaym berbeda-beda dari waktu ke waktu,
tapi anggota tetap komunitas ini sekitar 70 orang. Materi yang dikaji pada
periode ini, sudah tentu masih sangat sederhana, tapi karena obyek kajiannya
berpusat pada wahyu, yang betul-betul luas dan kompleks, maka ia tidak dapat
disamakan dengan materi diskusi di Ionia, yang menurut orang Barat merupakan
tempat kelahiran tradisi intelektual Yunani dan bahkan kebudayaan Barat (the
cradle of western civilization). Yang jelas, AÎÍÉb al-Øuffah, adalah
gambaran terbaik institusionalisasi kegiatan belajar-mengajar dalam Islam dan
merupakan tonggal awal tradisi intelektual dalam Islam. Hasil dari kegiatan ini
adalah munculnya, katakana, alumni-alumni yang menjadi pakar dalam hadith Nabi,
seperti misalnya AbË Hurayrah, AbË Dharr al-GhiffÉri, SalmÉn al-FÉrisi, ‘Abd
AllÉh ibn Mas’Ëd dan lain-lain. Ribuan hadith telah berhasil direkam oleh
anggota sekolah ini.
Kegiatan awal pengkajian wahyu dan
hadith ini dilanjutkan oleh generasi berikutnya dalam bentuk yang lain. Dan
tidak lebih dari dua abad lamanya telah muncul ilmuwan-ilmuwan terkenal dalam
berbagai bidang studi keagamaan, seperti misalnya Qadi Surayh (d.80/ 699),
Muhammad ibn al-Hanafiyyah (d.81/700), Ma’bad al-Juhani (d.84/703), Umar ibn
‘Abd al-’Aziz ( d.102/720) Wahb ibn Munabbih (d.110,114/719,723), Hasan
al-Basri (d.110/728), Ghyalan al-Dimashqi (d.c.123/740), Ja’far al-Sadiq
(d.148/765), Abu Hanifah (d.150/767), Malik ibn Anas (179/796), Abu Yusuf
(d.182/799), al-Shafi’i (204/819) dan lain-lain.
Framework yang dipakai pada awal
lahirnya tradisi keilmuan ini sudah tentu adalah kerangka konsep keilmuan Islam
(Islamic scientific conceptual scheme). Indikasi adanya kerangka
konseptual ini adalah usaha-usaha para ilmuwan untuk menemukan beberapa istilah
teknis keilmuan yang rumit dan canggih. Istilah-istilah yang di derivasi dari
kosa-kata al-Qur’an dan hadith Nabi termasuk diantaranya: ‘ilm, fiqh, usul,
ijtihad, ijma’, qiyas, ‘aql, idrak, wahm, tadabbur, tafakkur, hikmah, yaqin,
wahy, tafsir, ta’wil, ‘alam, kalam, nutq, zann, haqq, batil, haqiqah,
‘adam, wujud, sabab, khalq, khulq, dahr, sarmad, zaman, azal, abad,
fitrah, kasb, khayr, ikhtiyar, sharr, halal, haram, wajib, mumkin, iradah dan
lain sebagainya, menunjukkan adanya kerangka konsep keilmuan.
Dari keseluruhan istilah teknis
tersebut istilah ‘ilm, yang berulang kali disebut dalam berbagai ayat
al-Qur’an, adalah istilah sentral yang berkaitan dengan keseluruhan kegiatan
belajar mengajar. Istilah ‘ilm itu sejatinya adalah ilmu pengetahuan
wahyu itu sendiri atau sesuatu yang di derivasi dari wahyu atau yang berkaitan
dengan wahyu, meskipun kemudian dipakai untuk pengertian yang lebih luas dan
mencakup pengetahuan manusia. Istilah kedua yang juga sangat sentral adalah
istilah Fiqh, yang dalam al-Qur’an (9:122) menggambarkan kegiatan
pemahaman terhadap dÊn, termasuk pemahaman al-Qur’an dan hadith, yang
keduanya disebut ‘ilm. Jadi ‘ilm dan Fiqh berkaitan erat
sekali.
d. Elemen-elemen
pandangan hidup (worldview)
Sebagai sebuah sistim yang secara
definitif begitu jelas, worldview atau pandangan hidup memiliki
karakteristik tersendiri yang ditentukan oleh beberapa elemen yang menjadi asas
atau tiang penyokongnya. Antara satu pandangan hidup dengan pandangan hidup
lain berbeda karena berbeda elemennya atau karakteristiknya. Demikian pula
perbedaan definisi tentang worldview juga mempengaruhi penentuan elemen
didalamnya. Disini akan dibandingkan secara singkat antara elemen pandangan
hidup dalam perspektif pemikir Barat dan pemikiran Muslim.
Menurut Thomas suatu pandangan hidup
ditentukan oleh pemahaman individu terhadap enam bidang pembahasan yaitu: Tuhan,
Ilmu, Realitas, Diri, Etika, dan Masyarakat.
Seperti disebutkan diatas bagi
Thomas elemen-elemen pandangan hidup diatas merupakan suatu suatu sistim yang
integral, dimana antara satu konsep berkaitan dengan konsep yang lain secara
sistemik. Hal ini dapat disimak dari pernyataan Thomas berikut ini:
“Kepercayaan terhadap Tuhan adalah
sangat penting, mungkin elemen yang terpenting dalam pandangan hidup manapun.
Pertama jika kita percaya bahwa Tuhan itu wujud, maka kita tentu percaya bahwa
disana terdapat tujuan dan makna hidup….jika kita konsisten, kita juga akan
percaya bahwa sumber nilai moral bukanlah hanya sekedar kesepakatan manusia
tapi kehendak Tuhan, dan bahwa Tuhan adalah nilai Tertinggi. Selanjutnya kita
akan percaya bahwa (makna) ilmu pengetahuan itu lebih dari apa yang dapat
diamati dan bahwa disana terdapat realitas yang lebih tinggi – dunia
supernatural. …..jika sebaliknya, kita percaya bahwa disana tidak ada
Tuhan dan bahwa yang ada hanya satu dunia, maka demikian pulalah kira-kira yang
akan kita percayai tentang makna hidup, hakekat diri kita, kehidupan sesudah
mati, asal usul standar moralitas, kebebasan, tanggung jawab dan lain-lain”.
Jadi
dengan pernyataan tersebut diatas maka keenam bidang pembahasan diatas yang
merupakan elemen suatu pandangan hidup mempunyai kaitan erat satu sama lain.
Artinya kepercayaan individu terhadap adanya atau tidak adanya Tuhan akan
berkaitan secara konseptual dengan ilmu, realitas, diri, etika dan masyarakat.
Tidak
banyak cendekiawan Muslim yang menggambarkan elemen-elemen pandangan hidup
Islam secara terperinci. Shaykh Atif al-Zayn, misalnya, tidak merincikan elemen
pandangan hidup Islam, namun hanya mengajukan karakteristik yang membedakan
antara pandangan hidup Islam dari pandangan hidup lain. Karakteristik itu hanya
tiga: 1) Ia berasal dari wahyu Allah, 2) Berdasarkan konsep (din) yang
tidak terpisah dari Negara dan 3) Kesatuan antara spiritual dan material.
Sebagaimana
Shaykh Atif al-Zayn, Sayyid Qutb juga melihat bahwa pandangan hidup Islam itu
menyeluruh dan tidak mempunyai elemen atau bagian (juz’). Ia adalah
keseluruhan sisi dan sempurna karena kesempuranaan sisi-sisinya. Bahkan
pandangan hidup Islam bukan ciptaan manusia, akal manusia tidak dapat
menciptakannya, karena ia berasal dari Allah. Disini penekanan pada aspek
keilahian cukup menonjol, sedangkan aspek keilmuan tidak disebutkan.
Seakan-akan pandangan hidup Islam sama saja dengan wahyu yang tanpa penjelasan
keilmuan.
Menurut
Porf. Al-Attas elemen asas bagi worldview Islam sangat banyak dan yang ia
merupakan jalinan konsep-konsep yang tak terpisahkan.
Disini
Prof. al-Attas menekankan pada pentingnya konsep sebagai elemen pandangan hidup
Islam. Konsep-konsep ini semua saling berkaitan antara satu sama lain
membentuk sebuah struktur konsep yang sistemik. Elemen yang disampaikan para
Shaykh Atif, Sayyid Qutb dan Syed Naquib al-Attas berbeda dalam penekanannya,
tapi ketiganya mempunyai kesamaan visi yaitu bahwa pandangan hidup Islam
berbeda dari pandangan hidup Barat. Namun apa yang membedakan pandangan hidup
Islam dari pandangan hidup lain mereka berbeda-beda. Shyakh Atif dan Sayyid
Qutb perbedaannya adalah pada asal atau sumber pandangan hidup tersebut,
sedangkan al-Attas melihat secara lebih konseptual dan praktis. Secara praktis
konsep-konsep penting yang diajukan al-Attas itu dapat berguna bagi penafsiran
makna kebenaran (truth) dan realitas (reality). Apa yang dianggap
benar dan riel oleh pamdangan hidup Islam tidak selalu begitu bagi pandangan
hidup lain. Bagi al-Attas untuk menentukan sesuatu itu benar dan riel dalam
setiap kebudayaan berkaitan erat dengan sistim metafisika masing-masing yang
terbentuk oleh worldview. Disini kita melihat konsep pandangan hidup
al-Attas yang menekankan aspek epistemologis cukup menonjol. Dan ini cukup
signifikan dalam era moderninasi dan globalisasi dimana disolusi konsep sangat
menonjol dan bahkan cenderung melemahkan pandangan hidup Islam yang kekuatannya
tertelak pada struktur konsepnya yang dipahami secara episemologis dan bukan
ideologis.
e. Karakteristik
pandangan hidup Islam
Dengan mengetahui elemen penting pandangan
hidup Islam maka selanjutnya kita dapat mengidentifikasi karakteristik
pandangan hidup Islam. Dalam studi keagamaan modern (modern study of
religion) istilah worldview secara umum merujuk kepada agama dan
ideologi, termasuk ideologi sekuler, tapi dalam Islam worldview merujuk
kepada makna realitas yang lebih luas. Pengertian Prof. al-Attas yang kemudian
diistilahkan dengan ru’yat al-Islam li al-wujud “pandangan Islam
terhadap hakikat dan kebenaran tentang alam semesta, dijelaskan lebih lanjut
bahwa pandangan hidup Islam itu bukan sekedar pandangan akal manusia terhadap
dunia fisik atau keterlibatan manusia didalamnya dari segi historis, sosial,
politik dan kultural…tapi mencakup aspek al-dunyÉ dan al-Ékhirah, dimana
aspek al-dunyÉ harus terkait secara erat dan mendalam dengan aspek
akherat, sedangkan aspek akherat harus diletakkan sebagai aspek final”. Lebih
teknis lagi Prof. Alparslan menjelaskan bahwa worldview Islam adalah
“visi tentang realitas dan kebenaran, berupa kesatuan pemikiran yang arsitektonik,
yang berperan sebagai asas yang tidak nampak (non-observable) bagi semua
perilaku manusia, termasuk aktifitas ilmiah dan teknologi”.
Dalam pandangan Sayyid Qutb
karakteristik pandangan hidup Islam terdiri dari tujuh:
Pertama, RabbÉniyyah (bersumber dari Allah), artinya ia
berasal dari Tuhan sehingga dapat disebut sebagai visi keilahian. Sifat inilah
yang membedakan Islam dari pandangan hidup dan ideologi lain. Ia diturunkan
dari Tuhan dengan segenap komponennya. Berbeda dari Islam pandangan hidup lain
seperti pragmatisme, idealisme, atau dialektika materialisme bersumber dari
akal fikiran dan kehendak manusia belaka. Berbeda dari agama lain yang kitab
sucinya telah dicampuri oleh pandangan akal fikiran dan kata-kata manusia,
kitab suci Islam adalah murni dan terjaga (al-Qur’an 15:9).
Kedua bersifat konstan (thabat) artinya
tasawwur al-Islami itu dapat diimplementasikan kedalam berbagai bentuk struktur
masyarakat dan bahkan berbagai macam masyarakat. Namun esensinya tetap konstan,
tidak berubah dan tidak berkembang. Ia tidak memerlukan penyesuaian terhadap
kehidupan dan pemikiran, sebab ia telah menyediakan ruang dinamis yang bergerak
dalam suatu kutun yang konstan. Alam semesta dengan sunnatullahnya, manusia
dengan sifat kemanusiaannya adalah desain yang konstan. Sifat konsistensi ini
berlawanan dengan perkembangan yang tak terbatas yang terjadi di Barat dan pada
sisi lain konsistensi juga dapat menjadi tameng dari Westernisasi atau pengaruh
kebudayaan Eropah, nilai-nilainya, tradisinya dan metodologinya.
Ketiga bersifat komprehensif (shumËl),
artinya tasawwur al-Islami itu bersifat komprehensi. Sifat komprehensif ini di
dukung oleh prinsip tawhid yang dihasilkan dari sumber Tuhan yang Esa. Tawhid
juga termanifestasikan kedalam kesatuan antara pemikiran dan tingkah laku,
antara visi dan inisiatif, antara doktrin dan sistim, antara hidup dan mati,
antara cita-cita dan gerakan, antara kehidupan dunia dan kehidupan sesudahanya.
Kesatuan ini tidak dapat dipecah-pecah kedalam bagian-bagian yang tidak bersesuaian,
termasuk memisahkan antara ibadat dan muamalat. Jika Islam difahami diluar
konsep tawhid ini maka pemahaman itu dapat meletakkan seseorang diluar konsep
Islam.
Keempat seimbang ( tawÉzun), artinya
pandangan hidup Islam itu merupakan bentuk yang seimbang antara wahyu dan akal,
sebab memang wahyu diturunkan untuk dapat diimani dan difahami oleh akal
manusia. Juga keseimbangan antara yang diketahui (al-ma’lum) dan
yang tidak diketahui (ghayr ma’lum), antara yang nyata dan tidak nyata.
Kelima, positif (ijabiyyah),
artinya pandangan hidup Islam mendorong kepada aktifitas ketaaatan kepada Allah
dam sekap positif. Segala aktifitas dalam hidup manusia mempunyai relevansinya
dan konsekuensinya dalam agama dan sebalikanya pernyataan dalam ibadab seperti
shahadah dengan lidah mesti diamalkan dalam aktifitas yang nyata.
Keenam, pragmatis (wÉqi’iyyah),
artinya sifat pandangan hidup Islam itu tidak melulu idealistis, tapi juga
membumi kedalam realitas kehidupan. Jadi ia bersifat idealistis dan realistis
sekaligus, sehingga ia dapat membangun sistim yang lengkap yang sesuai dengan
sifat-sifat kemanusiaan. Dalam Islam perasn manusia yang dibutuhkan hanyalah
sejauh kapasitasnya sebagai manusia. Ia tidak dituntut untuk berada pada posisi
yang lebih rendah dari itu atau lebih tinggi sampai kepada derajat ketuhanan.
Ia berbeda dari visi Brahma dalam agama Hindu yang menganggap raga manusia
sebagai tidak riel, atau dari pandangan hidup Kristen yang menganggap manusia
terdiri dari jiwa dan raga, tapi menganggap segala yang berhubungan dengan raga
sebagai kejahatan.
Ketujuh, keesaan (tawhid), artinya
karakteristik yang paling mendasar dari pandangan hidup Islam adalah pernyataan
bahwa Tuhan itu adalah Esa dan segala sesuatu diciptakan oleh Nya. Karena itu
tidak penguasa selain Dia, tidak ada legislator selain Dia, tidak ada siapapun
yang mengatur kehidupan manusia dan hubungannya dengan dunia dan dengan manusia
serta makhluk hidup lainnya kecuali Allah. Petunjuk, undang-undang dan semua
sisitim kehidupan, norma atau nilai yang mengatur hubungan antara manusia
berasal dari padaNya.
Karakteristik yang dikemukakan oleh
Sayyid Qutb diatas menunjukkan luasnya jangkauan yang menjadi bidang cakupan
(spektrum) pandangan hidup Islam, akan tetapi gambaran tentang luasnya spektrum
tersebut, justru menjadikannya kurang detail. Untuk melihat sisi lain yang
lebih detail mengenai hal itu kita paparkan gambaran Prof. Al-Attas tentang
elemen penting yang menjadi karakter utama pandangan hidup Islam. Elemen
penting pandangan hidup Islam itu digambarkan dalam poin-poin berikut ini:
Pertama: Dalam pandangan hidup Islam
realitas dan kebenaran dimaknai berdasarkan kepada kajian metafisika terhadap
dunia yang nampak (visible world) dan yang tidak nampak (invisible
world). Sedangkan pandangan Barat terhadap realitas dan kebenaran,
terbentuk berdasarkan akumulasi pandangan terhadap kehidupan kultural, tata
nilai dan berbagai fenomena social. Meskipun pandangan ini tersusun secara coherence,
tapi sejatinya bersifat artificial. Pandangan ini juga terbentuk secara
gradual melalui spekulasi filosofis dan penemuan ilmiah yang terbuka untuk
perubahan. Spekulasi yang terus berubah itu nampak dalam dialektika yang
bermula dari thesis kepada anti-thesis dan kemudian synthesis. Juga dalam
konsep tentang dunia, mula-mula bersifat god-centered, kemudian god-world
centered, berubah lagi menjadi world-centered. Perubahan-perubahan
ini tidak lain dari adanya pandangan hidup yang berdasarkan pada spekulasi yang
terus berubah karena perubahan kondisi sosial, tata nilai, agama dan tradisi
intelektual Barat.
Kedua: Pandangan hidup Islam bercirikan
pada metode berfikir yang tawhÊdi (integral). Artinya dalam
memahami realitas dan kebenaran pandangan hidup Islam menggunakan metode yang
tidak dichotomis, yang membedakan antara obyektif dan subyektif,
histories-normatif, tekstual-kontektual dsb. Sebab dalam Islam, jiwa manusia
itu bersifat kreatif dan dengan persepsi, imaginasi dan intelgensinya ia
berpartisipasi dalam membentuk dan menerjemahkan dunia indera dan pengalaman
indrawi, dan dunia imaginasi. Karena worldview yang seperti itulah maka tradisi
intelektual di Barat diwarnai oleh munculnya berbagai sistim pemikiran yang
berdasarkan pada materialisme dan idealisme yang didukung oleh pendekatan
metodologis seperti empirisisme, rasionalisme, realisme, nominalisme,
pragmatisme dan lain-lain. Akibatnya, di Barat dua kutub metode pencarian
kebenaran tidak pernah bertemu dan terjadilah cul de sac.
Ketiga: Pandagan hidup Islam bersumberkan kepada wahyu yang
diperkuat oleh agama (din) dan didukung oleh prinsip akal dan
intuisi. Karena itu pandangan hidup Islam telah sempurna sejak awal dan tidak
memerlukan kajian ulang atau tinjauan kesejarahan untuk menentukan posisi dan
peranan historisnya. Substansi agama seperti: nama, keimanan dan pengamalannya,
ritus-ritusnya, doktrin-doktrin serta sistim teologisnya telah ada dalam wahyu
dan diterangkan serta dicontohkan oleh Nabi. Ketika ia muncul dalam pentas
sejarah, Islam telah “dewasa” sebagai sebuah sistim dan tidak memerlukan
pengembangan. Ia hanya memerlukan penafsiran dan elaborasi yang merujuk kepada
sumber yang permanen itu. Maka ciri pandangan hidup Islam adalah otentisitas
dan finalitas. Maka apa yang di Barat disebut sebagai klasifikasi dan
periodesiasi pemikiran, seperti periode klasik, pertengahan, modern dan
postmodern tidak dikenal dalam pandangan hidup Islam; periodesasi itu sejatinya
menggambarkan perubahan elemen-elemen mendasar dalam pandangan hidup dan sistim
nilai mereka.
Keempat: Elemen-elemen pandangan hidup Islam terdiri utamanya dari
konsep Tuhan, konsep wahyu, konsep penciptaanNya, konsep psikologi manusia,
konsep ilmu, konsep agama, konsep kebebasan, konsep nilai dan kebajikan, konsep
kebahagiaan. Elemen-elemen mendasar yang konseptual inilah yang menentukan
bentuk perubahan (change), perkembangan (development) dan
kemajuan (progess) dalam Islam. Elemen-elemen dasar ini berperan sebagai
tiang pemersatu yang meletakkan sistim makna, standar tata kehidupan dan nilai
dalam suatu kesatuan sistim yang koheren dalam bentuk worldview.
Kelima: Pandangan hidup Islam memiliki elemen utama yang paling
mendasar yaitu konsep tentang Tuhan. Konsep Tuhan dalam Islam adalah sentral
dan tidak sama dengan konsep-konsep yang terdapat dalam tradisi keagamaan lain;
seperti dalam tradisi filsafat Yunani dan Hellenisme; tradisi filsafat Barat,
atau tradisi mistik Timur dan Barat sekaligus. Kesamaan-kesamaan beberapa
elemen tentang konsep Tuhan antara Islam dan tradisi lain tidak dapat dibawa
kepada kesimpulan adanya Satu Tuhan Universal, sebab sistim konseptualnya
berbeda. Karena itu ide Transendent Unity of Religion adalah absurd.
Itulah ciri-ciri pandangan hidup atau worldview Islam yang
tidak saja membedakan Islam dari agama, peradaban dan kebudayaan lain tapi juga
membedakan metode berfikir dalam Islam dan metode berfikir pada kebudayaan
lain. Agar identitas pandangan hidup Islam dapat dipahami lebih jelas lagi, ada
baiknya dibahas pula pandangan hidup Barat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar